Sabtu, 27 November 2010
What I'm Thinking
Seseorang yang memiliki keinginan yang besar harus disertai kemauan yang besar pula, jika tidak atau hanya setengah2 pasti hasilnya hanya akan mengecewakan..
Seseorang yang ingin menjadi kaya tetapi tidak bisa menahan dirinya untuk membeli "keinginan" bukannya kebutuhan, kelak akan menyesal karena dia membeli barang yang sesungguhnya tidak terlalu ia butuhkan..
Belajar irit bukan bearti menahan diri untuk mengeluarkan uang/tenaga/pikiran saja, tetapi belajar untuk menahan hawa nafsu untuk tidak mengeluarkan sesuatu yang sia2..
Belajar bijak bukan berarti harus pandai berkata2, tapi bijak itu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk (bukan hnya bisa membedakan saja tapi juga bisa melakukannya)..
Mencintai bukan harus memiliki, tapi mencintai itu adalah memberikan kebahagiaan, membuat orang yang kita sayang tersenyum, dengan atau pun tanpa kehadiran kita secara langsung..
Cemburu..
Cemburu adalah rasa dimana kita takut kehilangan orang yang kita sayang, tapi bila cemburu berlebihan, malah bisa menjadi masalah bagi hubungan tersebut..
Menjadi kaya bukan berarti hidup lebih bahagia, karena sebenarnya semakin banyak kita diberi, semakin banyak juga kita dituntut..
Makan..
Makan, bila kita makan sampai kenyang, alangkah nikmatnya...
Tapi jika kurang makan, sangat menderita rasanya begitu juga bila serakah (terlallu banyak) makan, bukan makanan yang kita makan menjadi berguna bagi tubuh kita, malah kita membuang2 makanan (muntah)..
Terkadang mencintai itu tidak harus mengekang kekasih, tapi dengan memberikan kepercayaan dan kebebasan (dengan batasan2 tertentu juga pastinya, yang setiap orang berbeda batasan2nya walau garis besarnya sama)..
Memiliki kelebihan bukan bearti membuat kita sempurna, dan memiliki kekurangan juga bukan berati membuat kita lemah...
Yang membuat kita sempurna adalah ketika kita mau menerima kerkurangan dan kelebihan masing2, dan bekerja sama dalama hal positif dengan cinta dan kasih dari Tuhan juga tentunya..
Jangan memlilih kekasih dari paras atau hartanya saja, karena itu semua bisa hilang kapan saja..
Tetapi pilihlah kekasih yang kaya cinta dan penuh pengertian dalam kepribadian hatinya..
Minggu, 14 November 2010
Pribumi dan Non Pribumi?
Pada pasal 26 UUD 1945 ayat 1 dinyatakan bahwa “Yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara”. Dan pada ayat 3 dinyatakan bahwa “syarat-syarat mengenai kewarganegaraan di tetapkan oleh undang-undang”. Berdasarkan pasal di atas dapat di ambil kesipulan bahwa penduduk Indonesia adalah satu, tidak ada istilah Pribumi dan Non Pribumi. Di bawah ini akan di jelaskan apakah itu pribumi dan non pribumi yang sebenarnya.
Pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu disebabkan sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit, budaya dan agama. Namun, Bagi Tuhan Yang Maha Esa semua manusia mempunyai kedudukan sama tanpa membedakan pribumi dan non pribumi.
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, pada zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan Pada golongan masyarakat umum diperlakukan sebagai kelas rendah. Setelah merdeka, presiden Soekarno Hatta berusaha menghapus diskriminasi tersebut.
Pada zaman sebelum orde baru, di Indonesia istilah Bumiputera dipakai untuk penduduk asli. Diantara penduduk asli, terdapat suku-suku asing dan suku-suku berkembang. Golongan Bumiputera di bagi menjadi Bumiputera beragama islam dan Bumiputera beragama kristen. Tiap-tiap golongan diberlakukan peraturan. Peraturan itu adalah sebagai berikut :
a. Penduduk etnis Tionghoa diberi kesempatan sebagai pemungut pajak.
b. Penduduk etnis Tionghoa disudutkan untuk berdagang.
c. Penduduk etnis Tionghoa harus bertempat tinggal di daerah tertentu sehingga timbul pengelompokan penduduk etnis Tionghoa yang di kenal dengan Pecinan, yang berarti pengelompokan orang Cina.
Pada zaman Pak Harto, konotasi pribumi dan non-pribumi kembali merebak. Agenda pembangunan makro yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan minoritas serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi kacau. Segelintir golongan memperkaya diri, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan sederhana. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima sisa kekayaan alam Indonesia. Semua kekayaan diambil oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa. Sehingga pada tahun 1998, terjadilah kerusuhan anti Tionghoa di Jakarta dengan penjarahan, perampokan, serta pembakaran sarana dan prasarana yang ada.
Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama. Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur. Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil sebagian) adalah:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagai warga negara Indonesia, kita mempunyai hak dan kewajiban membangun bangsa. Kita harus menyadarkan bangsa kita bahwa sebenarnya tidak ada istilah pribumi dan non pribumi, yang ada adalah ketidakadilan, kemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa. Kita harus berusaha untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang dapat memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia. Kita harus menanggapinya dengan positif thingking, orang yang berpikir positif akan membangun masa depan Bangsa yang lebih baik. Yakni bangsa yang adil, makmur dan tentram. Perlu diingat pula, bahwa Negara Indonesia dapat maju apabila warga negaranya saling menghargai dan bekerja sama satu dengan yang lain tanpa membeda-bedakan.
Pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu disebabkan sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit, budaya dan agama. Namun, Bagi Tuhan Yang Maha Esa semua manusia mempunyai kedudukan sama tanpa membedakan pribumi dan non pribumi.
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, pada zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan Pada golongan masyarakat umum diperlakukan sebagai kelas rendah. Setelah merdeka, presiden Soekarno Hatta berusaha menghapus diskriminasi tersebut.
Pada zaman sebelum orde baru, di Indonesia istilah Bumiputera dipakai untuk penduduk asli. Diantara penduduk asli, terdapat suku-suku asing dan suku-suku berkembang. Golongan Bumiputera di bagi menjadi Bumiputera beragama islam dan Bumiputera beragama kristen. Tiap-tiap golongan diberlakukan peraturan. Peraturan itu adalah sebagai berikut :
a. Penduduk etnis Tionghoa diberi kesempatan sebagai pemungut pajak.
b. Penduduk etnis Tionghoa disudutkan untuk berdagang.
c. Penduduk etnis Tionghoa harus bertempat tinggal di daerah tertentu sehingga timbul pengelompokan penduduk etnis Tionghoa yang di kenal dengan Pecinan, yang berarti pengelompokan orang Cina.
Pada zaman Pak Harto, konotasi pribumi dan non-pribumi kembali merebak. Agenda pembangunan makro yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan minoritas serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi kacau. Segelintir golongan memperkaya diri, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan sederhana. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima sisa kekayaan alam Indonesia. Semua kekayaan diambil oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa. Sehingga pada tahun 1998, terjadilah kerusuhan anti Tionghoa di Jakarta dengan penjarahan, perampokan, serta pembakaran sarana dan prasarana yang ada.
Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama. Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur. Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil sebagian) adalah:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagai warga negara Indonesia, kita mempunyai hak dan kewajiban membangun bangsa. Kita harus menyadarkan bangsa kita bahwa sebenarnya tidak ada istilah pribumi dan non pribumi, yang ada adalah ketidakadilan, kemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa. Kita harus berusaha untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang dapat memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia. Kita harus menanggapinya dengan positif thingking, orang yang berpikir positif akan membangun masa depan Bangsa yang lebih baik. Yakni bangsa yang adil, makmur dan tentram. Perlu diingat pula, bahwa Negara Indonesia dapat maju apabila warga negaranya saling menghargai dan bekerja sama satu dengan yang lain tanpa membeda-bedakan.
Langganan:
Postingan (Atom)